Laporan IDC: 84% Organisasi di Asia Pasifik Sudah Gunakan AI untuk Keamanan Siber - Transformasi digital di Asia Pasifik kini semakin berfokus pada pertahanan siber berbasis kecerdasan buatan (AI). Menurut hasil studi terbaru IDC 2025 yang ditugaskan oleh Fortinet, sebanyak 84% organisasi di kawasan ini telah mengadopsi AI dalam strategi keamanan siber mereka. AI kini tidak hanya membantu mendeteksi dan merespons serangan, tetapi juga mulai membentuk arah rekrutmen, strategi investasi, hingga desain arsitektur keamanan modern.
Dalam lanskap keamanan siber modern, AI memainkan peran di kedua sisi medan tempur digital. Bagi tim pertahanan, AI mampu mengotomatisasi deteksi ancaman, mempercepat respons, dan meningkatkan skala intelijen ancaman secara real-time. Namun, pelaku kejahatan siber juga memanfaatkan AI untuk meluncurkan serangan yang lebih cepat, halus, dan adaptif.
“AI kini tidak hanya memperkuat pertahanan, tetapi juga membentuk cara organisasi mengalokasikan anggaran dan membangun tim keamanan. Fortinet mendukung transformasi ini dengan menghadirkan AI di seluruh platform kami, agar organisasi dapat mendeteksi ancaman lebih cepat, merespons lebih cerdas, dan beroperasi lebih tangguh di tengah kompleksitas siber yang meningkat," kata Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia.
Menurut laporan IDC, 61% organisasi di Asia Pasifik mengalami serangan siber berbasis AI dalam 12 bulan terakhir, dan 64% di antaranya melaporkan volume ancaman meningkat dua kali lipat, bahkan 29% mengaku meningkat tiga kali lipat. Serangan berbasis AI ini umumnya lebih sulit dideteksi karena mengeksploitasi celah visibilitas dan proses internal organisasi.
Baca juga:Harga dan Spesifikasi Lenovo LOQ 15AHP10 73ID Terbaru Bertenaga AMD Ryzen 5 220
Dari Eksperimen ke Implementasi Nyata
AI dalam keamanan siber kini telah bergerak dari tahap uji coba ke penerapan penuh di lapangan. Lebih dari delapan dari sepuluh organisasi di Asia Pasifik telah mengimplementasikan AI di berbagai lini keamanan mereka — tidak hanya untuk deteksi ancaman, tetapi juga respons otomatis, prediksi serangan, intelijen ancaman, hingga analisis perilaku.
Selain itu, teknologi Generative AI (GenAI) mulai diterapkan untuk tugas-tugas ringan seperti menjalankan playbook, mendeteksi social engineering, memperbarui aturan keamanan, hingga mendukung investigasi berbasis AI. Namun, tingkat kepercayaan terhadap sistem otonom masih terbatas — sebagian besar organisasi masih mengandalkan model “co-pilot”, di mana AI berperan sebagai asisten, bukan pengambil keputusan penuh.
Era Baru Tenaga Keamanan Siber Berbasis AI
Pergeseran menuju AI juga mengubah struktur tenaga kerja keamanan siber. Lima posisi yang kini paling banyak dicari di kawasan Asia Pasifik meliputi:
- Security Data Scientist
- Threat Intelligence Analyst
- AI Security Engineer
- AI Security Researcher
- AI Incident Response Specialist
Tren ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya mengadopsi alat berbasis AI, tetapi juga membangun tim keamanan dengan kemampuan AI sebagai fondasi utama.
Investasi Bergeser ke Arah Intelijen dan Zero Trust
Anggaran keamanan siber di kawasan ini terus meningkat, meski sebagian besar organisasi melaporkan kenaikan di bawah 5%. Fokus pengeluaran kini bergeser dari sekadar infrastruktur ke arah investasi strategis berbasis risiko, seperti:
- Keamanan identitas (Identity Security)
- Keamanan jaringan dan SASE/Zero Trust
- Ketahanan siber (Cyber Resilience)
- Perlindungan aplikasi cloud-native
- Analitik dan intelijen ancaman
Hal ini menandakan perubahan paradigma dari reaktif menjadi prediktif, di mana AI menjadi penggerak utama efisiensi dan efektivitas keamanan digital.
Tim Masih Kekurangan Tenaga dan Kelelahan
Meskipun kesadaran terhadap keamanan siber meningkat, banyak organisasi masih berjuang dengan keterbatasan sumber daya. Hanya 6% dari total tenaga kerja internal dialokasikan untuk TI, dan hanya 13% dari angka tersebut yang khusus menangani keamanan siber.
Kurangnya spesialisasi menyebabkan banyak tim kewalahan menghadapi lonjakan ancaman, terlalu banyak alat keamanan, dan tantangan retensi tenaga ahli. Kondisi ini memperkuat kebutuhan akan model keamanan terpadu yang lebih efisien dan otomatis.
Konsolidasi dan Konvergensi Jadi Strategi Baru
Hampir semua responden survei (97%) menyatakan tengah menggabungkan sistem keamanan dan jaringan atau mengevaluasi langkah ke arah tersebut. Konsolidasi ini bukan sekadar efisiensi biaya, tetapi langkah strategis untuk meningkatkan integrasi, mempercepat respons, dan memperkuat postur keamanan organisasi.
Bahkan 79% organisasi aktif mempertimbangkan konsolidasi vendor keamanan, dengan alasan peningkatan dukungan, integrasi yang lebih baik, penghematan biaya, dan kemudahan manajemen.
Kata Pakar: AI Bukan Lagi Masa Depan, Tapi Kebutuhan Saat Ini
“Organisasi tidak lagi bereksperimen dengan AI. Mereka kini menanamkannya langsung ke deteksi ancaman, respons insiden, dan desain tim keamanan,” ujar Simon Piff, Research Vice President IDC Asia-Pacific.
“AI secara fundamental mengubah cara ancaman diidentifikasi, diprioritaskan, dan ditangani.”
Survei IDC yang didukung Fortinet ini menegaskan bahwa AI bukan lagi wacana masa depan, tetapi fondasi utama keamanan siber modern di Asia Pasifik. Dengan ancaman yang semakin kompleks dan sumber daya manusia yang terbatas, adopsi AI menjadi langkah strategis menuju pertahanan siber yang lebih cerdas, prediktif, dan efisien.
Anda mungkin suka:Asus TUF Gaming A16 FA608PP, Ganas dengan Duet Ryzen 9 8940HX dan GeForce RTX 5070
Posting Komentar